Komunikasi
sebagai Proses 4
dosen : Abdul Malik
•
Part 3
•
Pendahuluan
Saat
ini kita memasuki era yang disebut sebagai “Revolusi Komunikasi” (Daniel
Lerner), “Masyarakat Pasca Industri (Daniell Bell), “Abad Komunikasi” (Alvin
Toffler). Salah satu ciri yang menyertai berbagai istilah tersebut adalah
digunakannya alat komunikasi sebagai media yang sangat penting dalam tata
pergaulan manusia. Globalisasi telah memorakporandakan sebuah negara yang
berusaha mengisolasi diri dari pergaulan dunia, bahkan dalam bahasanya Marshall
Mc. Luhan menyatakan bahwa kita telah memasuki Global Village (desa global).
Dunia
diibaratkan sebagai sebuah kampung dengan suatu ciri apa yang terjadi di suatu
wilayah negara dalam waktu singkat segera diketahui oleh negara lain. Sama
persis suatu kejadian yang ada di sebuah sudut kampung dalam waktu singkat dapat cepat diketahui oleh seluruh masyarakat
di kampung tersebut.
Daniel
Lerner mencatat lima revolusi komunikasi yang pernah terjadi di dunia sebelum
tahun 1975. Setiap revolusi komunikasi berbeda rentang waktunya. Misalnya,
antara revolusi pertama ke revolusi kedua membutuhkan waktu lebih dari 400
tahun. Waktu selama empat abad itu dibutuhkan untuk mengembangkan sebuah kelas
sosial yang bisa memanfaatkan teknologi cetak tersebut.
Di
Indonesia perkembangan tersebut terasa sekali. Komunikasi antarpersona yang
dulu menjadi andalan dalam proses komunikasi lambat laun posisinya tergeser
oleh media radio dan surat kabar yang digunakan untuk alat perjuangan. Kemudian
tergeser oleh peran televisi ketika di tanah air sudah ada siaran televisi pada
tahun 1962
·
Komunikasi sebagai Esensi Dasar Manusia
Sebagai
makhluk sosial manusia tentu tidak bisa hidup sendirian. Ia membutuhkan orang
lain. Karena saling membutuhkan itulah maka terjalin interaksi, baik interaksi
individu dengan individu, individu dengan kelompok, maupun kelompok dengan
kelompok. Dalam interaksi, manusia saling berkomunikasi satu sama lain. Karena
itu, komunikasi memegang peranan yang amat penting bagi manusia dalam hidup
bermasyarakat.
Bahkan,
menurut Dr. Everett Kleinjan dari East West Center Hawaii, komunikasi merupakan
bagian yang kekal dari manusia seperti halnya bernafas. Sebab, sepanjang
hidupnya manusia tidak lepas dari komunikasi.(Hafied Cangara: 2006:1)
Harold
D. Lasswell (ibid.), peletak dasar ilmu komunikasi, menyebut tiga fungsi
dasar yang menjadi penyebab mengapa manusia perlu berkomunikasi, yakni:
Pertama, hasrat manusia
untuk mengontrol lingkungannya. Melalui komunikasi manusia dapat mengetahui
peluang-peluang yang ada untuk dimanfaatkan, dipelihara, dan menghindar pada
hal-hal yang mengancam alam sekitarnya. Melalui komunikasi manusia dapat
mengetahui suatu kejadian atau peristiwa. Bahkan melalui komunikasi manusia
dapat mengembangkan pengetahuannya, yakni belajar dari pengalamannya, maupun
melalui informasi yang mereka terima dari lingkungan sekitarnya.
Kedua,
upaya manusia untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya. Proses
kelanjutan suatu masyarakat sesungguhnya tergantung bagaimana manusia bisa beradaptasi
dengan lingkungannya. Penyesuaian di sini bukan saja terletak pada kemampuan
manusia member tanggapan terhadap gejala
alam seperti banjir, tetapi juga lingkungan masyarakat tempat manusia hidup
dalam tantangan. Dalam lingkungan seperti ini diperlukan penyesuaian agar
manusia dapat hidup dalam suasana yang harmonis.
Ketiga, upaya untuk
melakukan transformasi warisan sosial. Masyarakat yang ingin mempertahankan
keberadaannya, maka anggota masyarakatnya dituntut untuk melakukan melakukan
pertukaran nilai, perilaku, dan peranan. Misalnya bagaiman orang tua
mengajarkan tatakrama bermasyarakat yang baik kepada anak-anaknya. Bagaimana
sekolah difungsikan untuk mendidik warga negara, dan sebagainya.
Sedangkan
Thomas M. Scheidel (Deddy Mulyana: 2003: 4) mengemukakan bahwa kita berkomunikasi terutama untuk
menyatakan dan mendukung identitas diri,
untuk membangun kontak sosial dengan orang di sekitar kita, dan untuk memengaruhi
orang lain untuk merasa, berpikir, atau berperilaku seperti yang kita inginkan.
Namun tujuan dasar kita berkomunikasi adalah untuk mengendalikan lingkungan
fisik dan psikologis kita.
•
Komunikasi sebagai Proses Sosial
Dalam
hubungannya dengan proses sosial, komunikasi menjadi sebuah cara dalam
melakukan perubahan sosial (social change). Komunikasi berperan
menjembatani perbedaan dalam masyarakat karena mampu merekatkan kembali sistem
sosial masyarakat dalam usahanya
melakukan perubahan. Namun, begitu, komunikasi juga tak akan lepas dari konteks
sosialnya.
Artinya,
ia akan diwarnai oleh sikap , perilaku, pola, norma, pranata masyarakatnya.
Jadi, keduanya saling mempengaruhi dan melengkapi, seperti halnya hubungan
antara manusia dengan masyarakat.
Hubungan
antara perubahan sosial dengan komunikasi (atau media komunikasi) pernah
diamati oleh Goran Hedebro (1982) sebagai berikut:
1.
Teori komunikasi mengandung makna pertukaran pesan. Tidak ada perubahan di
masyarakat tanpa peran komunikasi. Dengan demikian, komunikasi hadir pada semua
upaya yang bertujuan membawa ke arah perubahan.
2.
Meskipun dapat dikatakan komunikasi hadir dengan tujuan membawa perubahan,
namun ia bukan satu-satunya alat yang dapat membawa perubahan sosial. Dengan
kata lain, komunikasi hanya salah satu dari banyak faktor yang menimbulkan
perubahan di masyarakat.
3.
Media yang digunakan dalam komunikasi berperan melegitimasi bangunan sosial
yang ada. Ia adalah pembentuk kesadaran yang pada akhirnya menentukan persepsi
orang terhadap dunia dan masyarakat tempat mereka hidup.
4.
Komunikasi adalah alat yang luar biasa guna mengawasi salah satu kekuatan
penting masyarakat; konsepsi mental yang membentuk wawasan orang mengenai
kehidupan. Dengan kata lain, mereka yang berada dalam posisi mengawasi media,
dapat menggerakkan pengaruh yang menentukan menuju arah perubahan sosial.
Komunikasi
sebagai proses sosial adalah bagian integral dari masyarakat. Secara garis
besar komunikasi sebagai proses sosial di masyarakat memiliki fungsi-fungsi
sebagai berikut:
1.
Komunikasi menghubungkan antarberbagai komponen masyarakat. Komponen di sini
tidak hanya individu dan masyarakat, melainkan juga berbagai bentuk lembaga
sosial (pers, universitas, LSM, dll).
2.
Komunikasi membuka peradaban (civilization) baru manusia. Menurut
Koentjaraningrat (1997), istilah peradaban dipakai untuk bagian-bagian dan
unsur-unsur dari kebudayaan yang halus dan indah, seperti kesenian, ilmu
pengetahuan serta sopan santun dan sistem pergaulan yang kompleks dalam suatu
struktur masyarakat yang kompleks pula. Komunikasi telah mengantarkan peradaban
barat menjadi maju dalam ilmu pengetahuan.
3.
Komunikasi adalah manifestasi kontrol sosial dalam masyarakat. Berbagai nilai (value),
norma (norm), peran (role), cara (usage), kebiasaan (folksways),
tata kelakuan (mores), dan adat (customs) dalam masyarakat yang
mengalami penyimpangan (deviasi) akan dikontrol dengan komunikasi, baik
melalui bahasa lisan, sikap apatis atau perilaku nonverbal individu.
4.
Tanpa bisa diingkari komunikasi berperan dalam sosialisasi nilai ke masyarakat.
Bagaimana sebuah norma kesopanan disosialisasikan kepada generasi nuda dengan
contoh perilaku orang tua (nonverbal) atau dengan pernyataan nasihat langsung
(verbal); juga bisa dilihat ketika seorang anak dimarahi orang tua gara-gara
berkata jorok di depan orang tuanya.
5.
Seseorang akan diketahui jati dirinya sebagai manusia karena menggunakan
komunikasi. Itu berarti komunikasi menunjukkan identitas sosial seseorang. Dalam peribahasa dikenal bahasa
menunjukkan bangsa. Bahasa sebagai alat komunikasi menunjukkan jatidiri
individu yang bersangkutan.
•
Komunikasi sebagai Proses Budaya
Dalam
konteks kebudayaan, komunikasi disebut juga sebagai proses budaya. Artinya,
komunikasi yang ditujukan pada orang atau kelompok lain tak lain adalah sebuah pertukaran kebudayaan. Misalnya, Anda
berkomunikasi dengan suku Baduy, secara tidak langsung Anda sedang
berkomunikasi berdasarkan kebudayaan tertentu
milik Anda untuk menjalin kerjasama atau mempengaruhi kebudayaan lain.
Dalam proses tersebut terkandung unsur-unsur kebudayaan, salah satunya adalah
bahasa. Sedangkan bahasa merupakan alat komunikasi.
Lalu,
apa itu kebudayaan?
Kebudayaan
adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakannya dengan
belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya (Koentjaraningrat,
1997). Dari definisi diketahui bahwa dalam kebudayaan itu tersebut ada gagasan,
budi, dan karya manusia. Gagasan dan karya manusia itu akan menjadi kebudayaan
setelah sebelumnya dibiasakan dengan belajar.
Menurut
Koentjaraningrat (1994) isi kebudayaan
yang biasa disebut sebagai cultural universal meliputi:
1.
Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat rumah
tangga, senjata alat produksi, transport, dll).
2.
Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem
produksi, sistem distribusi).
3.
Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum dan
sistem perkawinan).
4.
Bahasa (lisan maupun tertulis).
5.
Kesenian (seni rupa, seni musik, seni suara, seni gerak, dll).
6.
Sistem pengetahuan.
7.
Religi (sistem kepercayaan).
Selanjutnya,
secara lebih konkret hubungan antara komunikasi dengan kebudayaan dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1.
Dalam berkomunikasi manusia membutuhkan peralatan-peralatan tertentu. Secara
minimal komunikasi membutuhkan sarana berbicara seperti mulut, bibir, dan
hal-hal yang berkaitan dengan bunyi ujaran. Ada kalanya dibutuhkan tangan dan
anggota tubuh lain (komunikasi nonverbal) untuk mendukung komunikasi lisan.
Ditinjau secara lebih luas dengan penyebaran komunikasi yang lebih luas pula,
maka digunakanlah peralatan komunikasi massa, seperti televisi, radio, surat
kabar, dll.
2.
Komunikasi menghasilkan mata pencaharian hidup manusia. Komunikasi yang
dihasilkan lewat televisi, misalnya, membutuhkan orang yang digaji untuk
‘mengurus’ televisi.
3.
Sistem kemasyarakat yang menjadi bagian tak terpisahkan dari komunikasi,
misalnya sistem hukum Indonesia. Sebab, komunikasi akan efektif manakala diatur
dalam sebuah regulasi agar tidak melanggar norma-norma masyarakat. Dalam bidang
pers dibutuhkan jaminan kepastian hukum agar terwujud kebebasan pers. Namun,
kebebasan pers juga tak serta merta
dikembangkan di luar norma masyarakat.
4.
Komunikasi akan menemukan bentuknya secara lebih baik manakala menggunakan bahasa
sebagai alat penyampai pesan kepada orang lain. Wujud banyaknya bahasa yang
digunakan sebagai alat komunikasi menunjukkan bahwa bahasa sebagai isi atau
wujud dari komunikasi. Bagaimana penggunaan bahasa yang efektif, memakai bahasa
apa, siapa yang menjadi sasaran, adalah manifestasi dari komunikasi sebagai
proses budaya. Termasuk di sini juga ada manifestasi komunikasi sebagai proses
kesenian, misalnya, di televisi ada seni gerak (drama, sinetron, film) atau
seni suara (menyanyi, dialog, dll).
5. Sistem pengetahuan atau ilmu pengetahuan
merupakan substansi yang tak lepas dari komunikasi. Bagaimana mungkin suatu
komunikasi akan berlangsung menarik dan dialogis tanpa ada dukungan ilmu
pengetahuan? Ilmu pengetahuan ini juga termasuk ilmu tentang berbicara dan
menyampaikan pendapat. Bukti bahwa masing-masing pribadi berbeda dalam penyampaian, gaya, pengetahuan
yang dimiliki, menunjukkan realitas tersebut.
•
Komunikasi sebagai Proses
Politik
Bagaimana
seandainya dalam politik tidak terjadi komunikasi? Sebagai contoh, tidak
terjadi komunikasi antara eksekutif dengan legislatif, atau tidak ada
komunikasi antara pemerintah dengan rakyatnya.
Yang
terjadi berbagai kebijakan negara tidak akan tersosialisasikan dan terlaksana
dengan baik. Begitu juga berbagai bentuk keterlibatan rakyat dalam politik
(sebagai sesuatu yang harus terjadi) akan mengalami hambatan.
Dengan
demikian – mengutip Gabriel Almond – komunikasi ibarat aliran darah yang
mengalirkan pesan politik berupa tuntutan, protes, dan dukungan (aspirasi dan
kepentingan) ke jantung (pusat) pemrosesan sistem politik. Dan hasil pemrosesan
itu dialirkan kembali oleh komunikasi politik yang selanjutnya menjadi feedback
sistem politik (Alfian, 1993).
Dalam
suatu sistem politik yang demokratis, terdapat subsistem suprastruktur politik
(lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif) dan subsistem infrastruktur politik
(partai politik, organisasi kemasyarakatan, kelompok kepentingan, dll) –nya.
Proses politik berkenaan dengan proses input dan output sistem politik.
Dalam
model komunikasi politik, dijelaskan bahwa komunikasi politik model input
merupakan proses opini berupa gagasan, tuntutan, kritikan, dukungan mengenai
suatu isu-isu aktual yang datang dari infrastruktur ditujukan kepada
suprastruktur politiknya untuk diproses menjadi suatu keputusan politik (berupa
undang-undang, peraturan pemerintah, surat keputusan, dan sebagainya).
Sedangkan
komunikasi politik model output adalah proses penyampaian atau sosialisasi
keputusan-keputusan politik dari suprastruktur politik kepada infrastruktur
politik dalam suatu sistem politik.
Contoh
proses politik yang pernah terjadi sistem politik kita adalah isu tentang harga
bahan bakar minyak (BBM). Tuntutan-tuntutan pembatalan kenaikan harga BBM dari
berbagai kalangan masyarakat (mahasiswa, partai politik, organisasi
kemasyarakatan) ditujukan kepada wakil-wakil rakyat mereka yang duduk di DPR
dan DPRD, juga kepada pemerintah eksekutif (presiden dan para pembantunya).
Kemudian DPR mengadakan sidang paipurna untuk membahas isu ini, dan membuat
keputusan atas persoalan tersebut.
•
Komunikasi Politik di
Indonesia
Komunikasi yang berlaku pada era Soeharto adalah komunikasi searah, yaitu
komunikasi dari atas ke bawah (top-down). Presiden memberikan petunjuk
dan pengarahan, langsung disetujui oleh DPR (yang selalu didominasi oleh
Golkar) dan para menteri serta gubernur. Kemudian Gubernur memberi petunjuk dan
pengarahan kepada DPRD tingkat I dan para Bupati, dan Bupati ke DPRD tingkat II
dan para camat, dan begitu seterusnya sampai pada tingkat desa.
Untuk mengelola negara sebesar Indonesia, dengan jumlah penduduk yang
meningkat terus dari hampir 200 juta, sampai sekarang sudah mencapai 220 juta,
dan heterogenitas penduduk yang sangat luar biasa, sistem komunikasi politik
searah ini sudah terbukti sangat efektif selama 32 tahun. Tetapi sistem
komunikasi ini terbukti tidak bisa bertahan selamanya. Bersamaan dengan Krisis
Moneter yang berkembang juga menjadi Krisis Politik, rezim Soeharto pun
tumbang, dan pola komunikasi langsung berubah arah: dari bawah ke atas (bottom-up).
Namun pola komunikasi bawah-atas ini, langsung terbukti sama tidak
efektifnya. Bahkan lebih tidak efektif, karena jika semasa Soeharto yang terasa
adalah keluhan pihak-pihak yang frustrasi karena aspirasinya tidak tersalur
(misalnya: kelompok PDI Mega, Petisi 50, mahasiswa dsb.), pada era
pasca-Soeharto, yang terjadi adalah anarki yang tidak habis-habisnya, sehingga
dalam tempo singkat presiden RI berganti 4 kali. Masalahnya, dalam pola
atas-bawah, maupun bawah-atas, sama-sama tidak terjadi dialog (komunikasi dua
arah), yang terjadi hanya monolog (komunikasi searah).
Untuk mengubah komunikasi searah menjadi dua arah bukan
perkara gampang. Dimana saat ini sering kita dengar mengenai “duduk bersama”.
Tetapi hal ini belum bisa mengatasi masalah yang sebenarnya yaitu kebanyakan
orang hanya ingin berbicara dan didengarkan tanpa mau mendengarkan. Sikap ingin
menang sendiri dan sikap yang ngotot akan pendapatnya dan tidak mau
menghargai pendapat orang lain tentu sangat bertentangan dengan esensi
komunikasi dua arah tadi.
Untuk lebih jelas dan ada gambarnya silahkan download file format P.Point nya, klik :
(Download)
Post by (abenk)
0 komentar:
Posting Komentar