Loading

I made this widget at MyFlashFetish.com.

English French German Spain Italian Dutch RussianPortugueseJapaneseKoreanArabicChinese Simplified

     

Rabu, 17 Oktober 2012

Empat Teori Pers dan Sistem Pers Indonesia

Empat Teori Pers dan Sistem Pers Indonesia


 dosen: Abdul Malik
          Arti Penting Pers dalam
Sistem Komunikasi
         Sistem pers adalah subsistem dari sistem komunikasi. Ia memiliki karakteristik tersendiri dibandingkan dengan sistem lain. Dan unsur yang paling penting dalam sistem pers adalah media massa baik cetak maupun elektronik. Media massa menjalankan fungsi untuk mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakat. Lewat media massa pula berbagai inovasi atau pembaruan dapat dilaksanakan oleh masyarakat.
         Marshall Mc Luhan menyebutnya sebagai the extension man (media adalah eksistensi manusia). Dengan kata lain media adalah perpanjangan dan perluasan dari keamampuan jasmani dan rohani manusia. Berbagai keinginan, aspirasi, pendapat, sikap perasaan manusia bisa disebarluaskan melalui pers.
         Menurut Wilbur Schramm, pers berfungsi sebagai pengamat, forum, dan guru. Artinya, setiap hari pers memberikan laporan, ulasan mengenai kejadian, menyediakan tempat (forum) bagi masyarakat untuk mengeluarkan pendapat secara tertulis dan turut mewariskan nilai-nilai ke masyarakat dari generasi ke generasi.
         Selain itu, pers juga memiliki dua sisi kedudukan. Pertama, sebagai medium komunikasi yang tertua dibanding medium yang lain.  Kedua, pers sebagai lembaga kemasyarakatan atau institusi sosial dan merupakan bagian integral dari masyarakat.
          Empat Teori Pers
         Setiap negara memiliki sistem persnya sendiri-sendiri dikarenakan perbedaan dalam tujuan, fungsi, dan latar belakang sosial politik yang menyertainya. Akibatnya berbeda dalam tujuan, fungsi, dan latar belakang munculnya pers, dan sekaligus berbeda dalam mengaktualisasikannya. Nilai, filsafat hidup dan ideologi suatu negara juga telah berperan besar dalam mempengaruhi sebuah pers.
         Ini juga berarti bahwa sistem yang dikembangkan juga berbeda, termasuk di dalamnya adalah sistem persnya. Erat kaitannya dengan itu, pola hubungan segi tiga antara pemerintah, pers dan masyarakat juga berbeda.
         Salah satu alasan kenapa kita perlu mempelajari berbagai macam sistem pers adalah untuk mengetahui sekaligus melakukan perbandingan antar-sistem pers. Di samping itu, agar kita menjadi lebih tahu di mana posisi sistem pers Indonesia.

          Teori Otoriter (Authoritarian Theory)
         Teori atau sistem pers otoriter dikenal sebagai sistem pers paling tua, lahir  abad 15-16 pada masa pemerintahan absolut.
         Pemerintah menguasai sekaligus mengawasi media. Berbagai kejadian yang akan diberitakan dikontrol pemerintah karena kekuasaan raja sangat mutlak.
         Negara (dengan raja sebagai kekuatan) adalah pusat segala kegiatan. Karena itu, individu tidaklah penting, yang lebih penting adalah negara sebagai tujuan individu.
         Mussolini (Italia) dan Adolf Hitler (Jerman) adalah dua penguasa yang mewarisi sistem pers otoriter.
         Fungsi Media
         Dalam sistem yang otoriter maka media harus mendukung kebijakan pemerintah yang berkuasa. Di bawah kebijakannya ini negara secara aktif berpartisipasi dalam proses komunikasi dan menggunakan media massa sebagai alat penting untuk mencapai tujuannya.

         Kepemilikan Media Massa
         Kaum Tudor di Inggris pada abad 16 memberikan hak-hak paten yang sifatnya eksklusif kepada orang-orang pilihan yang memonopoli bidang penerbitan dan mengeruk keuntungan sepanjang mereka tidak berusaha menggoncangkan pemerintah.
        
         Sistem Pengawasan
         Di samping pemberian hak paten juga dikeluarkan sistem lisensi atau perizinan untuk karya perseorangan, terutama dalam masalah agama dan politik. Mereka harus menyerahkan hasil karya kepada wakil pemerintah yang dianggap tahu mengenai tujuan pemerintah.
         Cara lain adalah dengan pendakwaan melalui pengadilan atas pelanggaran peraturan yang telah diterima oleh umum. Pengkhianatan dan penghasutan merupakan landasan untuk menuntut mereka yang dicurigai telah menyebarkannya.
         Ada tiga kategori tindakan yang dapat digolongkan sebagai pengkhianatan, yaitu: (1) usaha menggulingkan negara; (2) terlibat dalam kegiatan yang dapat mengarah pada penggulingan negara; (3) mendukung dan menganjurkan kebijaksanaan yang dapat mengarahkan pada penggulingan negara. Hukuman bagi pengkhianatan biasanya adalah hukuman mati sebagai senjata ampuh untuk membungkam pendapat yang menyerang pemerintah.
         Metode pengawasan lain adalah dengan menerapkan sistem pajak khusus yang dirancang untuk membatasi sirkulasi atau keuntungan yang diperoleh karena menjual barang cetakan terutama surat kabar.

         Yang Diizinkan dan Dilarang
         Yang diizinkan adalah semua hal yang mendukung dan mengembangkan tujuan dan kebijakan negara. Sebaliknya, hal-hal yang bersifat mengkritik pemerintah dilarang. Dan hal yang sama sekali dilarang adalah yang menyangkut penggulingan penguasa
         Teori Liberal
(Libertarian Theory)
          Sistem pers liberal (libertarian) berkembang  abad 17-18 sebagai akibat munculnya revolusi industri, dan adanya tuntutan kebebasan pemikiran di Barat yang disebut aufklarung (pencerahan). 
          Penyebabnya:     (1). Penemuan geografis yang menghasilkan perluasan pikiran manusia terutama penemuan-penemuan ilmiah; (2). Kehadiran kelas menengah Eropa di mana kepentingan kelas komersial berkembang dan menuntut pertikaian agama dihentikan. Sementara itu, hak khusus para bangsawan dibatasi.
          Esensi dasar sistem ini memandang manusia mempunyai hak asasi dan meyakini bahwa manusia akan bisa mengembangkan pemikirannya  secara baik jika diberikan kebebasan. Manusia dilahirkan sebagai makhluk bebas yang dikendalikan akal dan bisa mengatur sekelilingnya  untuk tujuan yang mulia.
             .

          Kebebasan adalah hal utama dalam mewujudkan esensi dasar itu, sedangkan kontrol pemerintah dipandang sebagai manifestasi ‘pemerkosaan’ kebebasan berpikir. Karena itu pers harus diberi tempat sebebas-bebasnya untuk membantu mencari kebenaran. Kebenaran akan diperoleh jika pers diberi kebebasan  sehingga kebebasan pers menjadi tolak ukur dihormatinya hak bebas yang dimiliki manusia
          Teori ini bertolak belakang dengan teori otoriter karena teori pers liberal lebih dikuasai oleh golongan pengusaha bermodal besar.
        
         Status dan Fungsi Media Massa
          Media massa dalam konsep liberal berfungsi sebagai penyampai informasi dan hiburan kepada masyarakat.
          Pers mendukung perkembangan ilmu dan ekonomi, yaitu fungsi pemasaran dari barang-barang atau produk yang diiklankan.
          Pers sebagai lembaga politik (pengawas) yang bertugas menjaga agar pemerintah tidak melampaui batas wewenangnya.
          Dalam sistem ini, media dikuasai swasta dan tidak menerima bantuan pemerintah. Alasannya, dengan menerima bantuan, pemerintah akan menguasai kegiatan perusahaan pers seperti halnya dengan konsep otoriter.
         Fungsi Pengawasan
         Menurut anggapan konsep liberal, lebih sedikit keterlibatan pemerintah dalam kegiatan komunikasi pers adalah lebih baik. Meski demikian, negara-negara yang menganut konsep liberal masih dapat mengawasi pers melalui sistem pos yang mendistribusikan media massa. Ada juga negara yang membatasi penggunaan telepon dan telegram. Sistem lain adalah pengawasan melalui bsistem impor-ekspor bagi media massa yang menggunakannya, terutama yang masih menggunakan pajak.
         Di samping sistem di atas, masih ada cara lain yang dapat dilakukan negara untuk membatasi kebebasan pers, yaitu melalui sistem peradilan. Di Amerika Serikat, kedudukan badan-badan peradilan di atas segalanya. Mereka tidak dapat mengadili pers, dan dapat menentukan sejauhmana batas pemerintah dalam menerapkan kekuasaannya atas media massa.
         Teori Komunis (Communist Theory)
          Sistem pers komunis (sering disebut  sistem pers “totaliter Soviet/Soviet Totalitarian” atau “pers Komunis Soviet/Soviet Communist”) berkembang karena munculnya negara Uni Soviet yang berpaham komunias pada awal abad ke-20. 
          Sistem ini dipengaruhi oleh pemikiran Karl Marx tentang perubahan sosial yang diawali oleh dialektika Hegel.
          Pers dalam sistem ini merupakan alat pemerintah atau partai dan menjadi bagian integral dari negara. Pers menjadi alat atau organ partai yang berkuasa (Partai Komunis Uni Soviet).
          Dengan demikian, segala sesuatu ditentukan  oleh negara (partai). Kritik diizinkan sejauh tidak bertentangan  dengan ideologi partai. Media massa melakukan yang terbaik untuk partai yang ditentukan oleh pemimpin partai.
         Menurut sistem ini, pers harus melayani kepentingan kelas dominan dalam masyarakat, yakni proletar. Pers harus menjadi collective propagandist, collective agitator, collective organizer. Adapun kaum proletar diwakili oleh partai komunis. Fungsi pers adalah indoktrinasi massa, pendidikan atau bimbingan massa yang dilancarkan partai.
        
         Sistem Pengawasan
         Tanggung jawab utama untuk mengawasi pers Soviet ada di tangan partai, tidak pada pemerintah. Partai melaksanakan pengawasannya dengan tiga cara. Pertama, Departemen Propaganda dan Agitasi menempatkan redaksinya ke berbagai tingkatan disertai penetapan tugasnya. Pemilihan redaksi didasarkan atas pertimbangan bahwa secara politis mereka dapat dipercaya. Biasanya diambil orang dari partai karena mereka lebih dipercaya kemampuan politiknya, di samping pengetahuannya tentang Marxisme. Jadi, bukan atas dasar profesional.
         Kedua, Partai mengeluarkan sejumlah besar arahan yang menentukan bahan penyajian untuk pers melalui Departemen Propaganda dan Agitasi. Isinya sebagian besar merupakan bahan “siaran pers”, surat-surat dari pimpinan partai, pemerintahan, pidato pejabat, dan dokumen resmi partai dan pemerintah.

         Ketiga, partai berwenang mengkritik dan menilai pers dengan tanggung jawab yang sangat serius. Ada sebuah komite pada tiap-tiap tingkatan partai yang berwenang  menilai dan mengkritik pers sesuai tingkatannya.

         Perbandingan dengan Teori Pers Otoriter
         Meskipun konsep pers komunis lahir dari pemikiran teori otoriter yang lahir sebagai teori tertua, dalam perkembangannya antara kedua teori tersebut memiliki perrbedaan sebagai berikut:
         1. Dalam teori otoriter pers adalah alat penguasa, sedang dalam teori komunis media adalah bagian dari partai yang berkuasa dan merupakan milik negara.
         2.  Pers otoriter melaksanakan kepercayaan yang diberikan penguasa dengan memperoleh imbalan baik berupa fasilitas maupun keuntungan.  Pers komunis motif tersebut ditiadakan, imbalannya adalah bentuk akibat pada pikiran publik seperti sifat ortodoksnya dan keahliannya dalam mempropagandakan tujuan partai.
         3. Pers otoriter tidak diizinkan mengkritik kelemahan penguasa atau berfungsi negatif, pers komunis berfungsi positif dalam arti bebas mengundang kritik dari penguasa dalam batas meningkatkan program dan dan efisiensi kerja sebagai alat partai.
         4. Tugas pers otoriter adalah bagaimana mempertahankan kekuasaan pemerintahan yang berkuasa, teori pers komunis justru menggulingkan kapitalisme dan borjuis untuk mencapai tujuan masyarakat tanpa kelas.
         5. Pers otoriter bertugas mempertahankan kelas feodal, pers komunis sebaliknya. Pers komunis berusaha membangun konsep kesejahteraan dengan masyarakat tanpa kelas.
         6. Pers otoriter sedikit terintegrasi dalam kegiatan dengan pemerintah, pers komunis secara menyeluruh terintegrasi.
         
Teori Tanggung Jawab Sosial
 (Social Responsibility Theory)
          Sistem pers tanggung jawab sosial (social responsibility) muncul awal abad ke-20 sebagai protes terhadap kebebasan mutlak dari libertarian yang mengakibatkan kemerosotan moral masyarakat.
          Dasar pemikirannya adalah sebebas-bebasnya pers harus bisa bertanggung jawab kepada masyarakat tentang apa yang diaktualisasikan.
          Sistem ini muncul di Amerika Serikat ketika kebebasan yang telah dinikmati oleh pers Amerika  selama dua abad lebih dinilai harus diadakan pembatasan atas dasar moral dan etika.
          Penekanan pada tanggung jawab sosial  dianggap penting untuk menghindari kemungkinan terganggunya ketertiban umum.  Sistem ini juga lebih menekankan pada kepentingan umum dibanding dengan kepentiangan pribadi.
         Sebagai konsekuensi dari tanggung jawab sosial ini, pada tahun 1923 masyarakat penerbit surat kabar di Amerika merumuskan kode etik jurnalistik. Kode etik ini mengimbau agar surat kabar bertanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakat, ketulusan, kejujuran, tidak memihak, bermain seimbang, sopan, dan menghormati kehidupan pribadi atau perseorangan. Kode etik ini pada akhirnya mengilhami lahirnya kode etik industri film pada tahun 1930, Kode etik radio pada tahun 1937, dan kode etik televisi pada tahun 1952.
        
         Kebebasan Menurut Liberal dan Tanggung Jawab Sosial
         Libertarian lahir dengan kebebasan yang negatif yang membiarkan setiap orang bebas berusaha mencapai tujuannya sendiri. Sebaliknya, teori tanggung jawab sosial melihat kebebasan negatif murni seperti di atas tidak tepat dan tidak efektif. Kebebasan yang tepat adalah kebebasan yang disertai dengan tanggung jawab etik/moral (tanggung jawab sosial).


Download file + gambaran format P.point, klik:



Post by (abenk)
Reade more >>

Komunikasi sebagai Proses

Komunikasi sebagai Proses 4
  


 dosen : Abdul Malik
          Part 3
          Pendahuluan
         Saat ini kita memasuki era yang disebut sebagai “Revolusi Komunikasi” (Daniel Lerner), “Masyarakat Pasca Industri (Daniell Bell), “Abad Komunikasi” (Alvin Toffler). Salah satu ciri yang menyertai berbagai istilah tersebut adalah digunakannya alat komunikasi sebagai media yang sangat penting dalam tata pergaulan manusia. Globalisasi telah memorakporandakan sebuah negara yang berusaha mengisolasi diri dari pergaulan dunia, bahkan dalam bahasanya Marshall Mc. Luhan menyatakan bahwa kita telah memasuki Global Village (desa global).
         Dunia diibaratkan sebagai sebuah kampung dengan suatu ciri apa yang terjadi di suatu wilayah negara dalam waktu singkat segera diketahui oleh negara lain. Sama persis suatu kejadian yang ada di sebuah sudut kampung dalam waktu singkat  dapat cepat diketahui oleh seluruh masyarakat di kampung tersebut.
         Daniel Lerner mencatat lima revolusi komunikasi yang pernah terjadi di dunia sebelum tahun 1975. Setiap revolusi komunikasi berbeda rentang waktunya. Misalnya, antara revolusi pertama ke revolusi kedua membutuhkan waktu lebih dari 400 tahun. Waktu selama empat abad itu dibutuhkan untuk mengembangkan sebuah kelas sosial yang bisa memanfaatkan teknologi cetak tersebut.
         Di Indonesia perkembangan tersebut terasa sekali. Komunikasi antarpersona yang dulu menjadi andalan dalam proses komunikasi lambat laun posisinya tergeser oleh media radio dan surat kabar yang digunakan untuk alat perjuangan. Kemudian tergeser oleh peran televisi ketika di tanah air sudah ada siaran televisi pada tahun 1962
·   Komunikasi sebagai Esensi Dasar Manusia
         Sebagai makhluk sosial manusia tentu tidak bisa hidup sendirian. Ia membutuhkan orang lain. Karena saling membutuhkan itulah maka terjalin interaksi, baik interaksi individu dengan individu, individu dengan kelompok, maupun kelompok dengan kelompok. Dalam interaksi, manusia saling berkomunikasi satu sama lain. Karena itu, komunikasi memegang peranan yang amat penting bagi manusia dalam hidup bermasyarakat.
         Bahkan, menurut Dr. Everett Kleinjan dari East West Center Hawaii, komunikasi merupakan bagian  yang kekal dari manusia  seperti halnya bernafas. Sebab, sepanjang hidupnya manusia tidak lepas dari komunikasi.(Hafied Cangara: 2006:1)
           
         Harold D. Lasswell (ibid.), peletak dasar ilmu komunikasi, menyebut tiga fungsi dasar yang menjadi penyebab mengapa manusia perlu berkomunikasi, yakni:
         Pertama, hasrat manusia untuk mengontrol lingkungannya. Melalui komunikasi manusia dapat mengetahui peluang-peluang yang ada untuk dimanfaatkan, dipelihara, dan menghindar pada hal-hal yang mengancam alam sekitarnya. Melalui komunikasi manusia dapat mengetahui suatu kejadian atau peristiwa. Bahkan melalui komunikasi manusia dapat mengembangkan pengetahuannya, yakni belajar dari pengalamannya, maupun melalui informasi yang mereka terima dari lingkungan sekitarnya.

         Kedua, upaya manusia untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya. Proses kelanjutan suatu masyarakat sesungguhnya tergantung bagaimana manusia bisa beradaptasi dengan lingkungannya. Penyesuaian di sini bukan saja terletak pada kemampuan manusia  member tanggapan terhadap gejala alam seperti banjir, tetapi juga lingkungan masyarakat tempat manusia hidup dalam tantangan. Dalam lingkungan seperti ini diperlukan penyesuaian agar manusia dapat hidup dalam suasana yang harmonis.
         Ketiga, upaya untuk melakukan transformasi warisan sosial. Masyarakat yang ingin mempertahankan keberadaannya, maka anggota masyarakatnya dituntut untuk melakukan melakukan pertukaran nilai, perilaku, dan peranan. Misalnya bagaiman orang tua mengajarkan tatakrama bermasyarakat yang baik kepada anak-anaknya. Bagaimana sekolah difungsikan untuk mendidik warga negara, dan sebagainya.
          

         Sedangkan Thomas M. Scheidel (Deddy Mulyana: 2003: 4) mengemukakan bahwa  kita berkomunikasi terutama untuk menyatakan  dan mendukung identitas diri, untuk membangun kontak sosial dengan orang di sekitar kita, dan untuk memengaruhi orang lain untuk merasa, berpikir, atau berperilaku seperti yang kita inginkan. Namun tujuan dasar kita berkomunikasi adalah untuk mengendalikan lingkungan fisik dan psikologis kita.


          Komunikasi sebagai Proses Sosial
         Dalam hubungannya dengan proses sosial, komunikasi menjadi sebuah cara dalam melakukan perubahan sosial (social change). Komunikasi berperan menjembatani perbedaan dalam masyarakat karena mampu merekatkan kembali sistem sosial  masyarakat dalam usahanya melakukan perubahan. Namun, begitu, komunikasi juga tak akan lepas dari konteks sosialnya.
         Artinya, ia akan diwarnai oleh sikap , perilaku, pola, norma, pranata masyarakatnya. Jadi, keduanya saling mempengaruhi dan melengkapi, seperti halnya hubungan antara manusia dengan masyarakat.
         Hubungan antara perubahan sosial dengan komunikasi (atau media komunikasi) pernah diamati oleh Goran Hedebro (1982) sebagai berikut:
         1. Teori komunikasi mengandung makna pertukaran pesan. Tidak ada perubahan di masyarakat tanpa peran komunikasi. Dengan demikian, komunikasi hadir pada semua upaya yang bertujuan membawa ke arah perubahan.
         2. Meskipun dapat dikatakan komunikasi hadir dengan tujuan membawa perubahan, namun ia bukan satu-satunya alat yang dapat membawa perubahan sosial. Dengan kata lain, komunikasi hanya salah satu dari banyak faktor yang menimbulkan perubahan di masyarakat.
         3. Media yang digunakan dalam komunikasi berperan melegitimasi bangunan sosial yang ada. Ia adalah pembentuk kesadaran yang pada akhirnya menentukan persepsi orang terhadap dunia dan masyarakat tempat mereka hidup.
         4. Komunikasi adalah alat yang luar biasa guna mengawasi salah satu kekuatan penting masyarakat; konsepsi mental yang membentuk wawasan orang mengenai kehidupan. Dengan kata lain, mereka yang berada dalam posisi mengawasi media, dapat menggerakkan pengaruh yang menentukan menuju arah perubahan sosial.
         Komunikasi sebagai proses sosial adalah bagian integral dari masyarakat. Secara garis besar komunikasi sebagai proses sosial di masyarakat memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut:
         1. Komunikasi menghubungkan antarberbagai komponen masyarakat. Komponen di sini tidak hanya individu dan masyarakat, melainkan juga berbagai bentuk lembaga sosial (pers, universitas, LSM, dll).
         2. Komunikasi membuka peradaban (civilization) baru manusia. Menurut Koentjaraningrat (1997), istilah peradaban dipakai untuk bagian-bagian dan unsur-unsur dari kebudayaan yang halus dan indah, seperti kesenian, ilmu pengetahuan serta sopan santun dan sistem pergaulan yang kompleks dalam suatu struktur masyarakat yang kompleks pula. Komunikasi telah mengantarkan peradaban barat menjadi maju dalam ilmu pengetahuan.
         3. Komunikasi adalah manifestasi kontrol sosial dalam masyarakat. Berbagai nilai (value), norma (norm), peran (role), cara (usage), kebiasaan (folksways), tata kelakuan (mores), dan adat (customs) dalam masyarakat yang mengalami penyimpangan (deviasi) akan dikontrol dengan komunikasi, baik melalui bahasa lisan, sikap apatis atau perilaku nonverbal individu.
         4. Tanpa bisa diingkari komunikasi berperan dalam sosialisasi nilai ke masyarakat. Bagaimana sebuah norma kesopanan disosialisasikan kepada generasi nuda dengan contoh perilaku orang tua (nonverbal) atau dengan pernyataan nasihat langsung (verbal); juga bisa dilihat ketika seorang anak dimarahi orang tua gara-gara berkata jorok di depan orang tuanya.
         5. Seseorang akan diketahui jati dirinya sebagai manusia karena menggunakan komunikasi. Itu berarti komunikasi menunjukkan identitas sosial seseorang.  Dalam peribahasa dikenal bahasa menunjukkan bangsa. Bahasa sebagai alat komunikasi menunjukkan jatidiri individu yang bersangkutan.

          Komunikasi sebagai Proses Budaya
         Dalam konteks kebudayaan, komunikasi disebut juga sebagai proses budaya. Artinya, komunikasi yang ditujukan pada orang atau kelompok lain tak lain adalah  sebuah pertukaran kebudayaan. Misalnya, Anda berkomunikasi dengan suku Baduy, secara tidak langsung Anda sedang berkomunikasi berdasarkan kebudayaan tertentu  milik Anda untuk menjalin kerjasama atau mempengaruhi kebudayaan lain. Dalam proses tersebut terkandung unsur-unsur kebudayaan, salah satunya adalah bahasa. Sedangkan bahasa merupakan alat komunikasi.
        
         Lalu, apa itu kebudayaan?
         Kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya (Koentjaraningrat, 1997). Dari definisi diketahui bahwa dalam kebudayaan itu tersebut ada gagasan, budi, dan karya manusia. Gagasan dan karya manusia itu akan menjadi kebudayaan setelah sebelumnya dibiasakan dengan belajar.
         Menurut Koentjaraningrat (1994) isi  kebudayaan yang biasa disebut sebagai cultural universal meliputi:
         1. Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat rumah tangga, senjata alat produksi, transport, dll).
         2. Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem produksi, sistem distribusi).
         3. Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum dan sistem perkawinan).
         4. Bahasa (lisan maupun tertulis).
         5. Kesenian (seni rupa, seni musik, seni suara, seni gerak, dll).
         6. Sistem pengetahuan.
         7. Religi (sistem kepercayaan).
         Selanjutnya, secara lebih konkret hubungan antara komunikasi dengan kebudayaan dapat dijelaskan sebagai berikut:
         1. Dalam berkomunikasi manusia membutuhkan peralatan-peralatan tertentu. Secara minimal komunikasi membutuhkan sarana berbicara seperti mulut, bibir, dan hal-hal yang berkaitan dengan bunyi ujaran. Ada kalanya dibutuhkan tangan dan anggota tubuh lain (komunikasi nonverbal) untuk mendukung komunikasi lisan. Ditinjau secara lebih luas dengan penyebaran komunikasi yang lebih luas pula, maka digunakanlah peralatan komunikasi massa, seperti televisi, radio, surat kabar, dll.
         2. Komunikasi menghasilkan mata pencaharian hidup manusia. Komunikasi yang dihasilkan lewat televisi, misalnya, membutuhkan orang yang digaji untuk ‘mengurus’ televisi.
         3. Sistem kemasyarakat yang menjadi bagian tak terpisahkan dari komunikasi, misalnya sistem hukum Indonesia. Sebab, komunikasi akan efektif manakala diatur dalam sebuah regulasi agar tidak melanggar norma-norma masyarakat. Dalam bidang pers dibutuhkan jaminan kepastian hukum agar terwujud kebebasan pers. Namun, kebebasan pers juga tak serta merta  dikembangkan di luar norma masyarakat.

         4. Komunikasi akan menemukan bentuknya secara lebih baik manakala menggunakan bahasa sebagai alat penyampai pesan kepada orang lain. Wujud banyaknya bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi menunjukkan bahwa bahasa sebagai isi atau wujud dari komunikasi. Bagaimana penggunaan bahasa yang efektif, memakai bahasa apa, siapa yang menjadi sasaran, adalah manifestasi dari komunikasi sebagai proses budaya. Termasuk di sini juga ada manifestasi komunikasi sebagai proses kesenian, misalnya, di televisi ada seni gerak (drama, sinetron, film) atau seni suara (menyanyi, dialog, dll).
         5.  Sistem pengetahuan atau ilmu pengetahuan merupakan substansi yang tak lepas dari komunikasi. Bagaimana mungkin suatu komunikasi akan berlangsung menarik dan dialogis tanpa ada dukungan ilmu pengetahuan? Ilmu pengetahuan ini juga termasuk ilmu tentang berbicara dan menyampaikan pendapat. Bukti bahwa masing-masing pribadi  berbeda dalam penyampaian, gaya, pengetahuan yang dimiliki, menunjukkan realitas tersebut. 
             Komunikasi sebagai Proses Politik
         Bagaimana seandainya dalam politik tidak terjadi komunikasi? Sebagai contoh, tidak terjadi komunikasi antara eksekutif dengan legislatif, atau tidak ada komunikasi antara pemerintah dengan rakyatnya.
         Yang terjadi berbagai kebijakan negara tidak akan tersosialisasikan dan terlaksana dengan baik. Begitu juga berbagai bentuk keterlibatan rakyat dalam politik (sebagai sesuatu yang harus terjadi) akan mengalami hambatan.
         Dengan demikian – mengutip Gabriel Almond – komunikasi ibarat aliran darah yang mengalirkan pesan politik berupa tuntutan, protes, dan dukungan (aspirasi dan kepentingan) ke jantung (pusat) pemrosesan sistem politik. Dan hasil pemrosesan itu dialirkan kembali oleh komunikasi politik yang selanjutnya menjadi feedback sistem politik (Alfian, 1993).
         Dalam suatu sistem politik yang demokratis, terdapat subsistem suprastruktur politik (lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif) dan subsistem infrastruktur politik (partai politik, organisasi kemasyarakatan, kelompok kepentingan, dll) –nya. Proses politik berkenaan dengan proses input dan output sistem politik.
         Dalam model komunikasi politik, dijelaskan bahwa komunikasi politik model input merupakan proses opini berupa gagasan, tuntutan, kritikan, dukungan mengenai suatu isu-isu aktual yang datang dari infrastruktur ditujukan kepada suprastruktur politiknya untuk diproses menjadi suatu keputusan politik (berupa undang-undang, peraturan pemerintah, surat keputusan, dan sebagainya).
        
         Sedangkan komunikasi politik model output adalah proses penyampaian atau sosialisasi keputusan-keputusan politik dari suprastruktur politik kepada infrastruktur politik dalam suatu sistem politik.
         Contoh proses politik yang pernah terjadi sistem politik kita adalah isu tentang harga bahan bakar minyak (BBM). Tuntutan-tuntutan pembatalan kenaikan harga BBM dari berbagai kalangan masyarakat (mahasiswa, partai politik, organisasi kemasyarakatan) ditujukan kepada wakil-wakil rakyat mereka yang duduk di DPR dan DPRD, juga kepada pemerintah eksekutif (presiden dan para pembantunya). Kemudian DPR mengadakan sidang paipurna untuk membahas isu ini, dan membuat keputusan atas persoalan tersebut.


             Komunikasi Politik di Indonesia
         Komunikasi yang berlaku pada era Soeharto adalah komunikasi searah, yaitu komunikasi dari atas ke bawah (top-down). Presiden memberikan petunjuk dan pengarahan, langsung disetujui oleh DPR (yang selalu didominasi oleh Golkar) dan para menteri serta gubernur. Kemudian Gubernur memberi petunjuk dan pengarahan kepada DPRD tingkat I dan para Bupati, dan Bupati ke DPRD tingkat II dan para camat, dan begitu seterusnya sampai pada tingkat desa.
         Untuk mengelola negara sebesar Indonesia, dengan jumlah penduduk yang meningkat terus dari hampir 200 juta, sampai sekarang sudah mencapai 220 juta, dan heterogenitas penduduk yang sangat luar biasa, sistem komunikasi politik searah ini sudah terbukti sangat efektif selama 32 tahun. Tetapi sistem komunikasi ini terbukti tidak bisa bertahan selamanya. Bersamaan dengan Krisis Moneter yang berkembang juga menjadi Krisis Politik, rezim Soeharto pun tumbang, dan pola komunikasi langsung berubah arah: dari bawah ke atas (bottom-up).

         Namun pola komunikasi bawah-atas ini, langsung terbukti sama tidak efektifnya. Bahkan lebih tidak efektif, karena jika semasa Soeharto yang terasa adalah keluhan pihak-pihak yang frustrasi karena aspirasinya tidak tersalur (misalnya: kelompok PDI Mega, Petisi 50, mahasiswa dsb.), pada era pasca-Soeharto, yang terjadi adalah anarki yang tidak habis-habisnya, sehingga dalam tempo singkat presiden RI berganti 4 kali. Masalahnya, dalam pola atas-bawah, maupun bawah-atas, sama-sama tidak terjadi dialog (komunikasi dua arah), yang terjadi hanya monolog (komunikasi searah).
         Untuk mengubah komunikasi searah menjadi dua arah bukan perkara gampang. Dimana saat ini sering kita dengar mengenai “duduk bersama”. Tetapi hal ini belum bisa mengatasi masalah yang sebenarnya yaitu kebanyakan orang hanya ingin berbicara dan didengarkan tanpa mau mendengarkan. Sikap ingin menang sendiri dan sikap yang ngotot akan pendapatnya dan tidak mau menghargai pendapat orang lain tentu sangat bertentangan dengan esensi komunikasi dua arah tadi.


Untuk lebih jelas dan ada gambarnya silahkan download file format P.Point nya, klik :


Post by (abenk)


Reade more >>