Loading

I made this widget at MyFlashFetish.com.

English French German Spain Italian Dutch RussianPortugueseJapaneseKoreanArabicChinese Simplified

     

Rabu, 09 Mei 2012

OTONOMI DAERAH

OTONOMI DAERAH

 
       Bryant (1987) ada dua bentuk desentralisasi:
             Desentralisasi yang bersifat administratif:
      Pendelegasian wewenang pelaksanaan    yang       diberikan kepada pejabat pusat di      tingkat lokal
2.    Desentralisasi yang bersifat politik:
      pendelegasian wewenang dalam   pembuatan keputusan tertentu atau           kontrol tertentu terhadap sumber daya yang diberikan kepada badan-badan       pemerintah regional dan lokal.


     Rondinelli (1988) membedakan empat bentuk desentralisasi:
           Deconcentration
           Delegation to semi autonomous and prasstatal agencies
           Devolution to local goverment
           Non goverment institutions
       Deconcentration;
             Field administration
      pejabat di lapangan diberikan keleluasaan       untuk mengambil     keputusan
             Local administration
      a.  Integrated local administration
      b.  Unintegrated local administration
      Integrated local administration:
    salah satu bentuk deconsentrasi di mana tenaga dan staf dari departemen pusat ditempatkan di daerah berada langsung di bawah perintah dan supervisi eksekutif di daerah, tetapi diangkat dan bertanggunag jawab kepada pemerintah pusat


       Unintegrated local administration:
       tenaga dan staf departemen pusat yang        berada di daerah dan kepala eksekutif     wilayah masing-masing berdiri sendiri.

       Delegation to semi-autonomous and prastatal agencies:
       suatu pelimpahan pengambilan keputusan dan kewenangan manajerial untuk melakukan tugas-tugas khusus kepada suatu organisasi yang tidak secara langsung berada di bawah pengawasan pemerintah pusat.

     Devolution to local goverment, konsekuensinya:
      pemerintah pusat membentuk  unit-unit pemerintahan diluar pemerintahan pusat, dengan menyerahkan sebagian fungsi tertentu untuk dilaksanakan secara mandiri
      Non goverment institutions (privatisasi):
      tindakan pemberian kewenangan dari pemerintah kepada badan-badan sukarela, swasta, dan swadaya masyarakat, tetapi dapat pula peleburan badan-badan pemerintah menjadi swasta.
       R Tresna yang berorientasi kontinental:
             Dekonsentrasi atau desentralisasi jabatan
      pemberian (pemasrahan) kekuasaan dalam       kepegawaian untuk kelancaran tugas       semata.
             Desentralisasi ketatanegaraan
pemberian kekuasaan yang mengatur     bagi daerah dan lingkungannya untuk    mewujudkan asas demokrasi      pemerintahan negara.

       Koesoemahatmadja (1979):
             Dekonsentrasi
      pelimpahan kekuasaan dari alat perlengkapan negara yang lebih atas/tinggi kepada bawahannya guna melancarkan pelaksanaan tugas pemerintahan di mana rakyat tidak diikut sertakan
             Desentralisasi ketatanegaraan
      disebut juga desentralisasi politik, pelimpahan kekuasaan perundangan dan pemerintahan kepada daerah-daerah otonom dalam lingkungannya.  Dalam hal ini rakyat dengan menggunakan saluran tertentu (perwakilan) turut serta dalam pemerintahan.
       Desentralisasi ketatanegaraan atau desentralisasi politik:
             Desentralisasi teritorial
      pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah    masing-masing (otonom)
             Desentralisasi fungsional
      pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus sesuatu atau beberapa       kepentingan tertentu.
       Jadi , perwujudan desentralisasi pada tingkat daerah adalah “otonom daerah”.
       Suatu negara bangsa  menganut desentralisasi dan sentralisasi tidak dilawankan dan karenanya tidak bersifat dikotomis, melainkan merupakan sub-sub sistem dalam kerangka organisasi negara.  Karenanya pula, suatu negara merupakan genusnya,sedangkan sentralisasi, desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan merupakan spesiesnya.
       Otonomi daerah:
      pemerintahan oleh, dari, dan untuk rakyat dalam suatu negara bangsa, melalui lembaga-lembaga pemerintah formal di luar pemerintah pusat. 
Kewenangan dalam otonomi daerah tersebut diberikan oleh pemerintah pusat secara terbatas dalam kerangka NKRI.
     Ada dua bentuk otonomi, yaitu:
       Otonomi yang bersifat artifisial    atau diciptakan dengan produk    hukum dan otonomi asli. 
     Otonomi merupakan varian dari asas kedaerahan dan desentralisasi politik.

       Menurut Harold F.Alderfer (1964) dan Brant C.Smith (1985):
    dalam kenyataannya dewasa ini, semua negara baik negara federal maupun negara kesatuan tidak terdapat otonomi penuh dalam arti kebebasan penuh tanpa campur tangan pemerintah pusat.  Campur tangan pemerintah pusat diperlukan dalam bentuk bimbingan dan pengawasan dalam organisasi negara.
    Setelah diberlakukan UU No. 22 tahun 1999, aksi dari berbagai pihak sangat beragam, sebagai akibat dari perbedaan interpretasi istilah otonomi.
      Berdasarkan UU No. 22 th 1999, ada kelompok yang memaknai otonomi sebagai “kewenangan”, daerah Otonomi (Kabupaten/Kota) untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat lokal, menurut prakrasa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
       Wujudnya adalah pembagian kewenangan kepada daerah dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali dalam bidang pertahanan dan keamanan peradilan, moneter dan fiskal, agama dan politik luar negeri serta kewenangan bidang lain, yakni perencanaan nasional pengendalian nasional; perubahan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga; perekonomian negara, pembinaan, dan pemberdayaan sumber daya manusia; pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi tinggi strategis, serta konservasi dan standarisasi nasional.
     Apabila dikaji lebih jauh, UU No. 22 th 1999 tersebut bersifat inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD 1945 yang menjadi landasan kehidupan kita bernegara, di mana dinyatakan  bentuk negara adalah “Negara Kesatuan”.
       Di dalam UU No. 22 th 1999 (baca UU otonomi daerah), muncul semangat federalisme yang dicerminkan dari pola dibatasi kekuasaan /kewenangan pusat, sementara semangat kesatuan dicirikan dari pola dibatasi kekuasaan /kewenangan daerah.  Dalam konteks pola dibatasi ini ditemukan kewenangan yang mungkin bisa diterjemahkan sesuka hati oleh penguasa.
      Apabila dirinci kewenangan tersebut, di pusat terdapat 203 kewenangan, sementara di daerah (provinsi/kabupaten/kota) terdapat 991 kewenangan.  Roh dari UU otonomi daerah ini membawa nilai “desentralisasi” baik dalam isi maupun judul Pemerintah Daerah.
     Hal ini sangat berbeda dengan UU No. 5 th 1975 tentang pemerintahan di daerah.  Kata di dalam UU No. 5 th 1975 tersebut mencerminkan kekuasaan “desentralisasi” namun isinya adalah “sentralisasi”.
     David After (1977) menyatakan bahwa negara-negara federalistik adalah negara yang didirikan dengan kekuasaan otoritas yang dibagi di antara negara-negara federal, sedangkan negara kesatuan didirikan dengan tersentralisasinya kekuasaan dan otoritas.
      Inkonsistensi di antara pasal-pasal yang ada sangat berpengaruh pada manajerial.
      UU No. 22 th 1999 pasal 4 ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa, antara masing-masing daerah termasuk antara provinsi dan kabupaten/kota berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki satu sama lain.

    Sementara itu pasal (9) menyatakan, bahwa kewenangan provinsi terbatas pada kewenangan lintas kabupaten – kota.
       Pasal (7) dan (11) menyatakan, “kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan yang sudah berada di daerah sehingga tidak perlu penyerahan secara aktif, yang perlu dilakukan adalah pengakuan dari pemerintah.
     Pasal 11 tersebut merupakan reference Amerika, suatu rujukan dari konsep “devolution” ala negara bagian dalam negara federal di Amerika Serikat yang tidak cocok untuk dirujuk  ke dalam sistem pemerintahan Indonesia.
       Kelemahan lainnya, idealnya sebuah UU dilaksanakan 5 tahun setelah diundangkan.  Infrastrukturnya harus dibangun dan memerlukan waktu.
       UU No. 22 th 1999 membatasi diri sendiri dengan membuat tenggat waktu (deadline), yaitu UU tersebut penerapan secara efektif selambat-lambatnya 2 tahun sejak diundangkan.
       Perbedaan paradigma.
       Paradigma Politik, otonomi birokrasi publik tidak mungkin ada dan tidak akan berkembang karena adanya kepentingan politik dari rezim yang berkuasa.
       Paradigma Organisasi, harus ada otonomi agar suatu birokrasi dapat tumbuh dan berkembang menjaga kualitasnya sehingga dapat memberikan yang terbaik bagi masyarakat.
     Terry (1995), menyarankan agar otonomi harus dilihat dalam paradigma “kontekstual”, yaitu mengaitkan otonomi dengan sistem politik yang berlaku dan sekaligus kebutuhan masyarakat daerah.
       UU No. 22 th 1999 menganut paradigma yang diutarakan Terry, dengan menggunakan pendekatan “kewenangan” hal ini dapat dilihat dari makna “otonomi sebagai kewenangan daerah otonom (kabupaten/kota) untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam konteks negara kesatuan RI”.
      Paradigma ekonomi harus dilihat dari perspektif pemerataan pembangunan ekonomi untuk mencapai kesejahteraan rakyat.  Oleh karena itu, pembangunan daerah adalah bagian integral dari pembangunan nasional, dan pembangunan nasional adalah pembangunan daerah.
    Semangat demokrasi yang timbul dan berkembang di era reformasi ini tidak diikuti oleh strategi peningkatan kemampuan dan kualitas wakil rakyat.
      Moh. Hatta mengatakan , bahwa “memberikan otonomi daerah tidak saja berarti melaksanakan demokrasi, tetapi mendorong berkembangnya auto-activiteit artinya tercapailah apa yang dimaksud dengan demokrasi, yaitu pemerintahan yang dilaksanakan oleh rakyat, untuk rakyat”.
      Hambatan yang ada dalam pelaksanaan otonomi daerah ini bila diidentifikasi dan dikelompokkan ialah perbedaan cara pandang tentang konsep dan paradigma otonomi daerah, kuatnya paradigma birokrasi, lemahnya kontrol wakil rakyat dan masyarakat, dan kesalahan strategi.
      Kunci mewujudkan otonomi daerah Good Governance, istilah ini secara khusus menggambarkan perubahan peran pemerintah dari pemberi pelayanan (provider) kepada “enabler atau fasilitator” dan perubahan kepemilikan dari milik negara menjadi milik rakyat.
       Indikator good governance yang dipakai di Indonesia adalah; (1) visi strategis, (2) transparansi, (3) responsivitas, (4) keadilan, (5) konsensus, (6) efektivitas dan efisiensi, (7) akuntabilitas, (8) kebebasan berkumpul dan berpartisipasi, (9) penegakan hukum, (10) demokrasi, (11) kerja sama, (12) komitmen pada pasar, (13) komitmen pada lingkungan, (14) desentralisasi.
      Capacity Building, yaitu serangkaian strategi yang ditujukan untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan responcivitas dari kinerja pemerintah dengan memusatkan perhatian pada pengembangan dimensi sumber daya manusia, penguatan organisasi dan reformasi kelembagaan (lingkungan).
       Pemerintah daerah perlu mempersiapkan:
             Penetapan secara jelas visi dan misi daerah dan lembaga pemerintah daerah
             Perbaikan sistem kebijakan publik di daerah
             Perbaikan struktural organisasi pemerintahan daerah
             Perbaikan kemampuan manajerial dan kepemimpinan pemerintah daerah
             Pengembangan sistem akuntabilitas internal dan eksternal
             Perbaikan budaya organisasi pemerintahan daerah
             Peningkatan sumber daya manusia aparat pemerintah daerah
             Pengembangan sistem jaringan antar kabupaten/kota dengan pihak lain
             Pengembangan, pemanfaatan, dan pemeliharaan lingkungan pemerintah daerah yang kondusif.


Clik to download file :
(Power Point)

Semoga Bermanfaat. .!! 



Post by (abenk)

0 komentar:

Posting Komentar